Nama: sinta kusuma ayu
n.p.m: 120403020085
fak:
sistem informasi
Tugas
: pendidikan multikultural
cerita rakyat - Asal usul bukit kelam
Bukit Kelam merupakan salah satu obyek wisata alam yang eksotis di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, Indonesia. Bukit yang telah menjadi Kawasan Hutan Wisata ini memiliki panorama alam yang memesona, yaitu berupa pemandangan air terjun, gua alam yang dihuni oleh ribuan kelelawar, dan sebuah tebing terjal setinggi kurang lebih 600 meter yang ditumbuhi pepohonan di kaki dan puncaknya. Dibalik pesona dan eksotisme Bukit Kelam, tersimpan sebuah cerita yang cukup menarik. Konon, Bukit Kelam dulunya merupakan sebuah rantau.
Namun,
karena terjadi suatu peristiwa, maka kemudian rantau itu menjelma menjadi Bukit
Kelam. Bagaimana kisahnya sehingga rantau itu menjelma menjadi bukit yang indah
dan memesona? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Legenda Bukit Kelam
berikut ini. Alkisah, di Negeri Sintang, Kalimantan Barat, Indonesia, hiduplah
dua orang pemimpin dari keturunan dewa yang memiliki kesaktian tinggi, namun
keduanya memiliki sifat yang berbeda. Yang pertama bernama Sebeji atau dikenal
dengan Bujang Beji. Ia memiliki sifat suka merusak, pendengki dan serakah.
Tidak seorang pun yang boleh memiliki ilmu, apalagi melebihi kesaktiannya. Oleh
karena itu, ia kurang disukai oleh masyarakat sekitar, sehingga sedikit
pengikutnya. Sementara seorang lainnya bernama Temenggung Marubai. Sifatnya
justru kebalikan dari sifat Bujang Beji. Ia memiliki sifat suka menolong,
berhati mulia, dan rendah hati. Kedua pemimpin tersebut bermata pencaharian
utama menangkap ikan, di samping juga berladang dan berkebun. Bujang Beji
beserta pengikutnya menguasai sungai di Simpang Kapuas, sedangkan Temenggung
Marubai menguasai sungai di Simpang Melawi. Ikan di sungai Simpang Melawi
beraneka ragam jenis dan jumlahnya lebih banyak dibandingkan sungai di Simpang
Kapuas. Tidak heran jika setiap hari Temenggung Marubai selalu mendapat hasil
tangkapan yang lebih banyak dibandingkan dengan Bujang Beji.
Temenggung Marubai menangkap ikan di sungai
Simpang Melawi dengan menggunakan bubu (perangkap ikan) raksasa dari batang
bambu dan menutup sebagian arus sungai dengan batu-batu, sehingga dengan mudah
ikan-ikan terperangkap masuk ke dalam bubunya. Ikan-ikan tersebut kemudian
dipilihnya, hanya ikan besar saja yang diambil, sedangkan ikan-ikan yang masih
kecil dilepaskannya kembali ke dalam sungai sampai ikan tersebut menjadi besar
untuk ditangkap kembali. Dengan cara demikian, ikan-ikan di sungai di Simpang
Melawi tidak akan pernah habis dan terus berkembang biak. Mengetahui hal
tersebut, Bujang Beji pun menjadi iri hati terhadap Temenggung Marubai. Oleh
karena tidak mau kalah, Bujang Beji pun pergi menangkap ikan di sungai di
Simpang Kapuas dengan cara menuba
Dengan
cara itu, ia pun mendapatkan hasil tangkapan yang lebih banyak. Pada awalnya,
ikan yang diperoleh Bujang Beji dapat melebihi hasil tangkapan Temenggung
Marubai. Namun, ia tidak menyadari bahwa menangkap ikan dengan cara menuba
lambat laun akan memusnahkan ikan di sungai Simpang Kapuas, karena tidak hanya
ikan besar saja yang tertangkap, tetapi ikan kecil juga ikut mati. Akibatnya,
semakin hari hasil tangkapannya pun semakin sedikit, sedangkan Temenggung
Marubai tetap memperoleh hasil tangkapan yang melimpah. Hal itu membuat Bujang
Beji semakin dengki dan iri hati kepada Temenggung Marubai. ”Wah, gawat jika
keadaan ini terus dibiarkan!” gumam Bujang Beji dengan geram. Sejenak ia
merenung untuk mencari cara agar ikan-ikan yang ada di kawasan Sungai Melawi
habis. Setelah beberapa lama berpikir, ia pun menemukan sebuah cara yang paling
baik, yakni menutup aliran Sungai Melawi dengan batu besar pada hulu Sungai
Melawi. Dengan demikian, Sungai Melawi akan terbendung dan ikan-ikan akan
menetap di hulu sungai. Setelah memikirkan masak-masak, Bujang Beji pun
memutuskan untuk mengangkat puncak Bukit Batu di Nanga Silat, Kabupaten Kapuas
Hulu. Dengan kesaktiannya yang tinggi, ia pun memikul puncak Bukit Batu yang besar
itu. Oleh karena jarak antara Bukit Batu dengan hulu Sungai Melawi cukup jauh,
ia mengikat puncak bukit itu dengan tujuh lembar daun ilalang. Di tengah
perjalanan menuju hulu Sungai Melawi, tiba-tiba Bujang Beji mendengar suara
perempuan sedang menertawakannya. Rupanya, tanpa disadari, dewi-dewi di
Kayangan telah mengawasi tingkah lakunya. Saat akan sampai di persimpangan
Kapuas-Melawi, ia menoleh ke atas. Namun, belum sempat melihat wajah dewi-dewi
yang sedang menertawakannya, tiba-tiba kakinya menginjak duri yang beracun.
”Aduuuhhh... !” jerit Bujang Beji sambil berjingkrat-jingkrat menahan rasa
sakit. Seketika itu pula tujuh lembar daun ilalang yang digunakan untuk
mengikat puncak bukit terputus. Akibatnya, puncak bukit batu terjatuh dan
tenggelam di sebuah rantau yang disebut Jetak.
Dengan
geram, Bujang Beji segera menatap wajah dewi-dewi yang masih menertawakannya.
”Awas, kalian! Tunggu saja pembalasanku!” gertak Bujang Beji kepada dewi-dewi
tersebut sambil menghentakkan kakinya yang terkena duri beracun ke salah satu
bukit di sekitarnya. ”Enyahlah kau duri brengsek!” seru Bujang Beji dengan
perasaan marah. Setelah itu, ia segera mengangkat sebuah bukit yang bentuknya
memanjang untuk digunakan mencongkel puncak Bukit Batu yang terbenam di rantau (Jetak)
itu. Namun, Bukit Batu itu sudah melekat pada Jetak, sehingga bukit panjang
yang digunakan mencongkel itu patah menjadi dua. Akhirnya, Bujang Beji gagal
memindahkan puncak Bukit Batu dari Nanga Silat untuk menutup hulu Sungai
Melawi. Ia sangat marah dan berniat untuk membalas dendam kepada dewi-dewi yang
telah menertawakannya itu.
Bujang Beji kemudian menanam pohon kumpang
mambu yang akan digunakan sebagai jalan untuk mencapai Kayangan dan
membinasakan para dewi yang telah menggagalkan rencananya itu. Dalam waktu
beberapa hari, pohon itu tumbuh dengan subur dan tinggi menjulang ke angkasa.
Puncaknya tidak tampak jika dipandang dengan mata kepala dari bawah. Sebelum
memanjat pohon kumpang mambu, Bujang Keji melakukan upacara sesajian adat yang
disebut dengan Bedarak Begelak, yaitu memberikan makan kepada seluruh binatang
dan roh jahat di sekitarnya agar tidak menghalangi niatnya dan berharap dapat
membantunya sampai ke kayangan untuk membinasakan dewi-dewi tersebut. Namun,
dalam upacara tersebut ada beberapa binatang yang terlupakan oleh Bujang Beji,
sehingga tidak dapat menikmati sesajiannya. Binatang itu adalah kawanan sampok
(Rayap) dan beruang. Mereka sangat marah dan murka, karena merasa diremehkan
oleh Bujang Beji. Mereka kemudian bermusyawarah untuk mufakat bagaimana cara
menggagalkan niat Bujang Beji agar tidak mencapai kayangan. ”Apa yang harus
kita lakukan, Raja Beruang?” tanya Raja Sampok kepada Raja Beruang dalam
pertemuan itu. ”Kita robohkan pohon kumpang mambu itu,” jawab Raja Beruang. ”Bagaimana
caranya?” tanya Raja Sampok penasaran. ”Kita beramai-ramai menggerogoti akar
pohon itu ketika Bujang Beji sedang memanjatnya,” jelas Raja Beruang. Seluruh
peserta rapat, baik dari pihak sampok maupun beruang, setuju dengan pendapat
Raja Beruang. Keesokan harinya, ketika Bujang Beji memanjat pohon itu, mereka
pun berdatangan menggerogoti akar pohon itu. Oleh karena jumlah mereka sangat
banyak, pohon kumpang mambu yang besar dan tinggi itu pun mulai goyah. Pada
saat Bujang Beji akan mencapai kayangan, tiba-tiba terdengar suara keras yang
teramat dahsyat. ”Kretak... Kretak... Kretak... !!!” Beberapa saat kemudian,
pohon Kumpang Mambu setinggi langit itu pun roboh bersama dengan Bujang Beji.
”Tolooong... ! Tolooong.... !” terdengar suara Bujang Beji menjerit meminta
tolong.
Pohon tinggi itu terhempas di hulu sungai
Kapuas Hulu, tepatnya di Danau Luar dan Danau Belidak. Bujang Beji yang ikut
terhempas bersama pohon itu mati seketika. Maka gagallah usaha Bujang Beji
membinasakan dewi-dewi di kayangan, sedangkan Temenggung Marubai terhindar dari
bencana yang telah direncanakan oleh Bujang Beji. Menurut cerita, tubuh Bujang
Beji dibagi-bagi oleh masyarakat di sekitarnya untuk dijadikan jimat kesaktian.
Sementara puncak bukit Nanga Silat yang terlepas dari pikulan Bujang Beji
menjelma menjadi Bukit Kelam. Patahan bukit yang berbentuk panjang yang
digunakan Bujang Beji untuk mencongkelnya menjelma menjadi Bukit Liut. Adapun
bukit yang menjadi tempat pelampiasan Bujang Beji saat menginjak duri beracun,
diberi nama Bukit Rentap.
Setelah kita membaca cerita rakyat yang
berjudul asal usul bukit kelam, cerita ini mengandung pesan-pesan moral.
Setidaknya pada analisis saya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari
cerita di atas ialah: akibat iri hati,serakah dan suka bermusyawarah untuk
mufakat.
1. Sifat iri hati dan
serakah yang dimiliki bujang Beji tercermin tampak pada saat bujang Beji ingin
menguasai ikan milik temenggung Marubai, serta tidak patut di tiru atau
diteladani. Walaupun kita punya kesaktian tapi jangan disalah gunakan.
2.Sedangkan sifat
suka bermusyawarah untuk mufakat terlihat pada perilaku kawana Sampok dan
Beruang yang berusaha menggagalkan rencana jahat Bujang Beji yang hendak
membinasakan dewi-dewi di kayangan. Ini contoh yang patut kita teladani.
Keterkaitan dengan kehidupan pada zaman
sekarang, ya terlihat dengan jelas” jangan sekali-kali bersikap iri hati,dengki
dan serakah terhadap sesama”. Dalam cerita ini sangat bagus kalau kita bisa
mengambil hikmah karena cerita ini harus jadi pembelajaran bagi kita yang
membaca cerita rakyat ini karena cerita ini diangkat agar bisa meneladani sifat
yang suka bermusyawarah untuk mufakat.intinya cerita ini mengandung nilai moral
yang tinggi karena pada zaman yang penuh persaingan pasti akan timbul sifat itu
tadi, nah di harapkan setelah membaca cerita ini kita semua tidak akan jatuh
kedalam lubang yang sama seperti bujang Beji.demikianlah cerita ini saya
sampaikan semoga bermanfaat bagi kita semua. Terima kasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar